Bismillah.. semoga postingan kali ini disertai rahmat dan berkah Allah SWT.
Reff Mubaligh: Harry Santosa.
Obsesi Anak Sholeh
Seorang muslimah dengan wajah keibuan, berpenampilan menarik, berpendidikan tinggi, nampak wajahnya sangat sumringah, betapa tidak? Ia dilamar seorang calon dokter dari keluarga baik baik walau hanya keluarga biasa.
Harapan muslimah ini membuncah, hatinya berbunga bunga, sebagaimana wanita normal lainnya, ia ingin menyambut fitrah keperempuanannya untuk menjadi ibu dan istri yg terbaik di dunia. Ia membayangkan menjalani pernikahannya dengan bahagia, menumbuhkan fitrah diri dan fitrah anak anaknya.
Proses pernikahannya berjalan Islami, tanpa pacaran, dan sang suami sudah “lolos seleksi” dari wali yang ditunjuk muslimah ini. Semua jawaban2 calon suaminya atas pertanyaan2 dari walinya, nampak meyakinkan. Calon suaminya mengatakan bahwa ia memilihnya karena saran ibunya untuk menikah baik baik dengan wanita baik baik.
Terjadilah pernikahan mereka. Bulan bulan awal sebagaimana pasangan pengantin baru, sangat indah, diliputi kemesraan. Lalu sang suami harus LDM (long distance marriage) karena menyelesaikan internshipnya sebagai calon dokter.
Cerita di atas terjadi beberapa belas bulan yang lalu. Kini muslimah itu ditalak suaminya, tanpa ada kesalahan apapun, tentu dengan alasan mengada ada. Suaminya mengatakan dirinya sudah tak bergairah lagi dengan istrinya di ranjang dsbnya.
Kehangatan pernikahan mereka diketahui hanya berjalan beberapa bulan saja, ketika suaminya kembali ke kota tempat menjalankan internship, sang suami baru ketahuan bertemu kembali dengan mantan kekasihnya yg juga calon dokter.
Ternyata diduga “nyambung kembali”, dan muslimah ini menemukan bukti bukti yang meyakinkan di sosmed, terlebih nampak ketika setiap pulang dari luar kota sang suami semakin hambar. Kecurigaannya benar, dan kini tiba tiba ia ditalak.
Hatinya sakit luarbiasa, ingin rasanya ia mendoakan keburukan pada suaminya itu. Dia tak tahu kesalahannya apa, ia mencoba menyerahkan segala harapannya, namun hanya dicampakkan begitu saja. Bagai mimpi buruk ia harus jadi janda di usia muda.
Di awal proses pernikahan mereka ternyata ada yang tak diungkap oleh keluarga suaminya. Bahwa suaminya ternyata pernah dilarang menikah dengan mantannya karena ayah ibunya melihat calonnya itu bukan wanita yang baik. Anaknya kemudian menurut untuk tak menikahi mantannya, dan menurut untuk dipilhkan jodoh oleh orangtuanya. Lalu terjadilah pernikahan di atas.
Dalam banyak kasus, seorang anak bisa nampak “jaim” di depan orangtuanya, namun berkhianat di belakang. Menelusuri keluarga suaminya ini, ia memiliki orangtua, walau keluarga biasa, nampak berusaha menjadikan anak anaknya hebat. Semua anak anaknya diupayakan menjadi dokter.
Memang benar anak anaknya berhasil menjadi dokter, namun tidak berkembang menjadi pribadi yang utuh. Satu sisi menerima perintah orangtua namun di sisi lain berkhianat.
Setelah diusut, ternyata yg menafkahi Muslimah ini setelah menikah adalah keluarga suaminya. Seolah barter, kurang lebih “saya terima tawaran ortu utk menikah, tapi bayarin ya”. Ini ciri khas pola pengasuhan obsesi, anak memanfaatkan ortu karena bagi ortu yg penting anak menurut maunya tanpa peduli diri anak.
Setelah diusut, ternyata skripsi sarjana kedokteran suaminya juga bukan buatan sendiri, tetapi dibuatkan orang lain. Ini semakin menguatkan dugaan, bahwa menjadi dokter bukanlah pilihan anaknya tetapi obsesi orangtuanya.
Jadi nampak, anak anak yg dicetak sesuai obsesi orangtuanya, berdampak pada kehidupannya yang penuh kepalsuan dan jelas pengkhianatan, baik dalam pernikahan maupun karir dan pekerjaan. Buat apa menikahi seorang perempun baik lalu dicampakkan. Buat apa menjadi dokter jika skripsi dibuatkan.
Anak anak seperti ini sesungguhnya telah menghancurkan dan membinasakan dirinya sejak awal, ia hidup dalam kepalsuan dan kemunafikan, ada lubang besar dalam jiwanya yg menghalanginya untuk menjadi dirinya dan mengenal Tuhannya.
Korbannya tentu saja bukan hanya dirinya dan masa depannya, namun juga masa depan orang lain, yaitu Muslimah ini dan kelak akan lebih banyak korbannya.
Dan banyak orangtua yg berobsesi anaknya berstatus shalih ini, ketika anaknya bermasalah atau merugikan orang lain, mereka lalu “membela” atau “pasang badan” mengorbankan dirinya agar anaknya terus nampak shalih.
Wahai AyahBunda, menginginkan anak shalih adalah idaman kita semua. Walau menjadi orangtua juga diberi otoritas (amanah) untuk mendidik, namun otoritas orangtua harus tetap dalam koridor fitrahnya, jika tidak maka namanya otoriter.
Jangan sampai karena tergesa ingin anak nampak sholeh maka justru kita gerus fitrahnya, kita cetak semaunya. Banyak orangtua hanya menginginkan anak anak harus nampak berstatus shalih di hadapan mereka setiap saat, padahal shalih itu bukan status, tetapi amal yang dijalankan dengan ghairah dan antusias, penuh kecintaan dstnya yang berangkat dari dalam jiwanya, apa adanya bukan pencitraan.
Di masa awal pertumbuhan, tentu saja ananda harus diberi ruang seluasnya untuk menjadi dirinya sesuai fitrahnya. Tentu dalam proses itu akan nampak hal hal yang mungkin menjengkelkan, memerlukan keshabaran dstnya. Syukuri saja, terus beri ruang, penerimaan dan kepercayaan
Biarlah fitrah ananda berproses, biarlah mereka, anak anak kita menjadi dirinya apa adanya sesuai tahapan perkembangan fitrah maupun keunikan fitrahnya, terima dengan penuh syukur. Bersamai, rawat dan tumbuhkan dengan menyalurkan potensi fitrahnya agar menjadi aktifitas produktif sesuai fitrahnya itu sehingga kemudian menjadi peran yang beradab dan bermanfaat, baik dalam kehidupan karir maupun kehidupan keluarga termasuk kehidupan spiritual dan sosialnya dstnya.
Dengan demikian, anak anak kita tidak jaim di depan manusia, jaim di depan orangtua , namun berkhianat di belakang orangtuanya dan juga pada Tuhannya. Apa yg lebih menyakitkan daripada melihat anak nampak berstatus shalih di hadapan kita namun tidak melakukan amal shaluh di belakang kita.
Dan apa yang lebih menyedihkan daripada melihat anak yg nampak sholeh itu kemudian menyusahkan orang lain bukan menshalihkan orang lain. Tumbuh menjadi beban peradaban.
#fitrahbasedlife #fitrahbasededucation
Reff: