Bismillah.. semoga postingan kali ini disertai rahmat dan berkah Allah SWT.
Reff Mubaligh: Harry Santosa.
Andai guru2 dari abad ke 19, dilahirkan kembali di abad 21, maka mereka akan terkaget kaget melihat betapa canggihnya perkembangan teknologi dan gedung menjulang di abad 21.
Namun mereka akan biasa biasa saja, ketika masuk ke ruang2 kelas sekolah. Mengapa?
Karena apa yang ada di ruang kelas sekolah hari ini tidak pernah berubah sejak 100 sampai 200 tahun terakhir, sejak era revolusi industri dimulai.
Pemandangan yang selalu sama sejak 200 tahun yang lalu. Guru yang berdiri di depan kelas, murid murid berseragam duduk di barisan bangku bangku dan meja meja tersusun rapi, wajah wajah yang menghadap ke depan, papan tulis yang setia menghadap siswa dstnya. Deringan bel setiap usai pelajaran pun selalu ada sejak dua ratus tahun lalu.
Pemandangannya selalu sama, guru guru yang nampak serba tahu, dan terlalu banyak “menggurui” dan murid murid yang banyak “mendengar” dan menjawab pertanyaan.
Tentu yang terpandai adalah yang jawabannya paling sesuai dengan selera guru, yaitu yang paling banyak menjawab pertanyaan dengan “cerdas cermat” dan “cepat tepat” sesuai buku, kisi kisi dan tentu saja selera gurunya.
Maka jangan heran, bila anak anak Indonesia dikenal paling jago menjawab namun paling sulit bertanya. Padahal pertanda matinya fitrah belajar adalah diawali dengan hilangnya semangat bertanya karena matinya nalar (nadzor).
Pemandangan lainnya adalah guru guru yang terlalu banyak diam namun rajin memberi catatan dan pekerjaan rumah. Bagi mereka mendidik adalah menghabiskan bahan ajar. Sebuah riset menyatakan bahwa ada begitu banyak “Silent Class” di sekolah sekolah Indonesia.
Bagi kebanyakan anak anak kita, hal yang paling berkesan ketika bersekolah hanya dua hal, yaitu bel istirahat dan bel pulang.
Selama seratus tahun lebih ada stress yang sama ketika ujian, ada tekanan kompetisi yang sama, ada pemilahan si bodoh dan si pandai, si bengal dan si penurut, si juara dan si pecundang, si kaya dan si miskin dstnya.
Selama lebih dari sepuluh dasawarsa, masalahnya selalu sama. Murid murid yang patuh dan penurut serta jaim di hadapan para guru namun ada ribuan penyimpangan perilaku di luar pagar sekolah.
Sekolah bagai etalase toko atau restoran atau hotel mewah yang nampak indah, mahal, megah menggiurkan bahkan terlihat relijius, namun di balik itu ada begitu banyak pengkhianatan dan kecurangan dari siswa siswanya maupun guru gurunya, setidaknya membiarkan keduanya terjadi.
Tak perlu sulit membuktikannya, temukan ratusan mungkin ribuan film di youtube tentang bully, kekerasan, tawuran, pelecehan dan penyimpangan seksual, pembunuhan dll dari anak anak dan pemuda generasi kita. Mereka umumnya anak anak yang dikenal “baik baik” saja di sekolah.
Selama lebih dari seratus tahun, fitrah bakat anak anak kita dihilangkan, hanya yang berbakat akademislah yang mendapat tempat penghargaan, ada sedikit bakat lainnya diletakkan sebagai ekskul selebihnya dibiarkan hilang dan terkubur.
Cukup 200 tahun ini ummat manusia disengsarakan sistem pendidikan yang abai terhadap fitrah personal, berupa fitrah keimanan, fitrah bakat, fitrah belajar dan fitrah perkembangan yang berakibat rusaknya mentalitas, moralitas dan rendahnya produktifitas serta meningkatnya depresi.
Cukup 200 tahun ini ummat manusia disengsarakan sistem pendidikan yang abai terhadap fitrah komunal, berupa fitrah alam, fitrah keunggulan lokal, fitrah realitas sosial masyarakat dan kehidupan, fitrah kebudayaan dan kearifan serta sistem hidup atau agama. Ini berakibat rusaknya alam, ketergantungan masyarakat, keterjajahan ekonomi, urbanisasi besar besaran dstnya.
Mari kita kembalikan pendidikan sejati berbasis fitrah, di mulai dari rumah2 kita, dari komunitas2 kita, secara bersama dan berjamaah. Sesungguhnya pendidikan sejati akan melahirkan peradaban sejati yang berakhlak mulia untuk anak dan keturunan kita, karena itulah yang menjawab mengapa kita hadir di muka bumi, mengapa kita menikah dan mengapa kita memiliki keturunan serta mengapa kita mendidik.
Salam Pendidikan Peradaban
#fitrahbasededucation
#pendidikanberbasisfitrah
Sumber : https://www.facebook.com/harry.hasan.santosa/posts/10205812797709263