Bismillah.. semoga postingan kali ini disertai rahmat dan berkah Allah SWT.
Reff Mubaligh: Harry Santosa.
Istilah istilah dalam khazanah Islam seringkali mengalami peyoratif atau penyempitan makna. Contohnya makna Niat, begitu mendengar kata Niat, maka benak kita lantas merujuk kepada niat sebagai lafazh untuk memulai ibadah ritual, “nawaitu shoma ghodin…”, “usholi fardhu zuhri…” dstnya.
Di Barat, istilah niat itu diartikan sebagai intrinsic motivation, motivasi dari dalam diri manusia yang dapat memicu amal lebih spontan, ikhlash, kreatif serta permanen. Motivasi dari luar (extrinsic motivation) seperti reward n punishment, over stimulus, over conditioning, bahkan pembiasaan dan drilling dianggap menyebabkan orang beramal robotik namun juga tidak permanen.
Pantas saja jika hari ini ummat Islam tak memiliki etos hebat yang berangkat dari dalam jiwanya, bisa jadi karena diawali sempit memaknakan niat, padahal niat itu suatu mindset strategis yang dahsyat yang menggerakkan manusia untuk beramal secara tulus, kreatif dan produktif dalam setiap aspek kehidupannya.
Maka kini kita bisa paham mengapa semua kitab klasik Islam selalu diawali dengan bab niat. Itu karena hebatnya makna Niat dan implemehtasinya dalam peradaban Islam di masa lalu.
Itulah pentingnya makna dari suatu istilah, apalagi istilah yang penting, karena akan menentukan cara orang berfikir, cara merasa dan cara bertindak. Makna dengan narasi yang ringan menyebabkan gagasan, imaji dan aksi yang ringan, sementara makna dengan narasi yang mendalam dan besar akan memicu gagasan, imajinasi dan solusi yang besar pula.
Makna Imanan
Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebut bahwa makna Imanan adalah sesuatu yang diikrarkan dengan lisan, dibenarkan oleh hati dan dikerjakan atau dibuktikan dengan amal perbuatan.
Jadi iman itu seyogyanya, sesuatu yang mewarnai, menginspirasi, menggerakkan setiap langkah kehidupan manusia dalam semua bidang kehidupan, baik pendidikan, bisnis, pernikahan dstnya.
Umumnya kita gagal membawa Keimanan atau Keyakinan ini dalam setiap aspek kehidupan kita, sehingga wujudnya hanya penempelan konten agama dan simbol simbolnya, namun platformnya tetap materialisme, liberaisme dstnya. Itu karena kita hanya memahami keimanan sebagai makna yang sempit yaitu sekedar beragama bukan berkeimanan atau beraqidah.
Keimanan itu harus masuk ke dalam jantung kehidupan, sebagai suatu cara berfikir, cara merasa dan cara bertindak, jika tidak maka keimanan hanya menjadi penempelan simbol simbol agama dalam kehidupan, celakanya hanya materialisme berselimut agama.
Indikator Keimanan masuk dalam Kehidupan
- Keimanan itu harus muncul sebagai keyakinan bahwa kita hidup di dunia dalam rangka mencapai maksud penciptaan (the purpose of life), yaitu beribadah kepada Allah dan menjadi Khalifah Allah di muka bumi.
Contoh, andaikan kita bekerja atau berbisnis, lalu mengatakan bekerja dan berbisnis adalah untuk beribadah tetapi yang ditunggu tunggu atau yang diorientasikan adalah gajian dan keuntungan, bukan menebar sebesar besar rahmat dan manfaat, maka kita sesungguhnya sedang mengalami disorientasi keimanan dalam mencapai the purpose of life.
Begitupula dalam pernikahan dan mendidik anak, jika kita mengatakan menikah dan mendidik anak adalah dalam rangka beribadah dan menjadi khalifah Allah di muka bumi, namun yang ditunggu tunggu adalah harta dan aset yang dikumpulkan serta anak anak yang diorientasikan agar kaya, segera bekerja dan sekedar menguasai banyak ilmu agama dan ilmu umum tanpa makna, maka lagi lagi kita sedang mengalami disorientasi keimanan.
Jika kesibukan kesibukan kita adalah rutinitas dan kecanduan perbuatan tanpa tujuan besar hidup di dunia yaitu untuk beribadah kepada Allah dan menjadi khalifah Allah di muka bumi maka sesungguhnya kita mengalami disorientasi keimanan.
- Keimanan itu harus berwujud menjadi the mission of life atau Misi Hidup, jika tidak maka kita mengalami kegagalan membawa keimanan dalam kehidupan nyata. Misi hidup adalah apa saja dari aktifitas inti yang kita lakukan dalam kehidupan dengan penuh semangat, ikhlash yang spontan, antusias, produktif serta penuh manfaat sesuai dengan panggilan hidup atau fitrah kita.
Tanpa kejelasan Misi Hidup atau Peran Peradaban maka kita sulit mengatakan bahwa kita adalah hamba Allah dan khalifah Allah. Tanpa misi hidup yang dituntaskan sampai akhir hayat, maka sesungguhnya kita tak pernah mencapai maksud Allah menghadirkan kita di dunia.
Dalam Ramadhan, kita dididik untuk menyelaraskan (aligned) keimanan kita dengan aktifitas Ramadhan, khususnya shaum, agar tidak misorientasi, bahkan Allah SwT mengatakan bahwa puasa itu untukKu, Aku yang langsung memheri pahala puasa pada hambaKu. Jadi shoum atau puasa melatih kita untuk senantiasa berorientasi ke langit dalam tiap aspek kehidupan.
Salam Pendidikan Peradaban
#fitrahbasededucation
#pendidikanberbasisfitrah
Reff:
Imanan wa Ihtisaban #6
Istilah istilah dalam khazanah Islam seringkali mengalami peyoratif atau penyempitan makna. Contohnya makna Niat, begitu mendengar kata Niat, maka benak kita lantas merujuk kepada… https://t.co/oMSvscDuzp
— harry santosa (@harrysan05) May 24, 2018