- Dakwah, FBE, IMTAQ

Renungan Pendidikan #19 – Mari kita bangun generasi baru, generasi peradaban yang tahapan tahapan perkembangannya sesuai dengan fitrah dan sunnatullahnya.

Bismillah.. semoga postingan kali ini disertai rahmat dan berkah Allah SWT.
Reff Mubaligh: Harry Santosa.

Pernahkah kita mempertanyakan mengapa anak2 kita harus menjalani PG atau TK selama 3 tahun?

Mengapa anak2 kita harus menjalani SD selama 6 tahun?
Lalu mengapa anak2 kita menjalani SMP selama 3 tahun, lalu menjalani SMA selama 3 tahun?

Adakah landasan ilmiah dan risetnya? Adakah landasan syariahnya? Pernahkah menggalinya?
Mengapa kita pasrah bongkokan menerimanya? Mengapa?

Memang ada percepatan atau akselerasi sehingga bisa lebih cepat, tapi pertanyaannya tetap belum terjawab.
Mengapa ada penjenjangan demikian? Lalu mengapa kita tidak mempertanyakan?

Seorang psikolog Muslim, Malik Badri, tahun 1985 pernah ke Indonesia, beliau penulis buku “dilemma psikolog muslim”, mengatakan bahwa penjenjangan itu tidak pernah bisa dibenarkan secara ilmiah. Ini hanya pengamatan psikolog barat terhadap masyarakat mereka yang kemudian masuk dalam sistem persekolahan hampir di seluruh dunia.

Lalu apa makna penjenjangan ini? Lalu mengapa kita menelan mentah mentah begitu saja, menerima sebagai sebuah keimanan?
Lupakah kita bahwa anak2 kita bagai benih tumbuhan yang memerlukan tahapan perkembangan yang benar?

Lalu perhatikan setelah masa “siswa kecil” ada masa menjadi “mahasiswa” (siswa besar) selama 4 atau 5 tahun. Apa maknanya?

Para “pemuda kuliahan” tetap dianggap sebagai anak anak walau bernama mahasiswa atau “siswa besar”?

Padahal menilik usianya, para “siswa besar” ini sudah berusia di atas 17 tahun, sudah bukan lagi berada pada fase pendidikan,, tetapi fase berkarya dan berperan.

Belajar memang sepanjang hayat, namun bagi para pemuda ini, fase belajar untuk menjadi diri seharusnya sudah selesai, mereka seharusnya berada pada fase belajar untuk melahirkan peran dan karya. Kenyataannya hampir 90% mahasiswa tidak mengenal dirinya dengan baik apalagi menjadi dewasa (aqil).

Padahal secara syariah mereka sudah jauh melampaui usia aqilbaligh, dimana seluruh kewajiban syariah dan sosial sudah jatuh di pundak mereka sejak berusia setidaknya pada usia 14 tahun ketika tibanya kedewasaan biologis.

Lalu kembali pertanyaannya adalah apa makna dan maksud penjenjangan TK, SD, SMP, SMA, Perguruan Tinggi ini ?

Sesungguhnya penjenjangan ini semata mata bukan untuk kepentingan tumbuh kembang anak anak kita secara utuh, namun untuk kepentingan kapitalisme dan sosialisme yang merekayasa kelas kelas sosial tenaga kerja atau buruh.

Penjenjangan ini mencerabut generasi dari akar masyarkatnya, akar kearifan dan pengetahuannya, bahkan akar budaya dan agamanya. Umumnya anak anak kita tidak punya idea memandirikan dirinya dan masyarakatnya atas potensi2 yang ada.

Generasi kita dan anak2 kita, telah disegregasi dalam kelas2 usia mirip peternakan hewan. Masyarakat kita terkotak kotak, terkungkung dalam kotak yang tidak sesuai fitrah perkembangan manusia.

Pemuda tetap dianggap anak anak bahkan sampai selesai kuliah. Anak anak dikelompokkan dalam kelas kelas usia yang tidak boleh beranjak kecuali jika lulus naik kelas secara akademis.

Lalu dengan bangga kita menyebut sekolah sebagai tempat sosialisasi, benarkah?

Padahal anak2 kita disekat sekat dalam ruang kelas dengan anak2 seumurnya selama seharian, apakah itu sosialisasi? Siapa gegabah yang menentukan demikian, untuk kepentingan siapa?

Selama berabad abad dunia hanya mengenal kelas anak anak dan kelas pemuda. Kelas remaja (adolescene) tidak pernah dikenal sampai abad ke 19. Ini kelas yang membocahkan para pemuda selama mungkin, sampai mendekati usia 25an bahkan akan terus lebih.

Sesungguhnya sepanjang sejarah kelompok yang ada hanya kelompok tahap dididik dan tahap berkarya. Kelompok tahap anak anak dan kelompok tahap pemuda aqilbaligh. Tahap pedagogis dan andragogis.

Walau demikian, dalam keseharian sebuah komunitas atau jamaah atau desa2 yg masih murni, tetap saja sosialisasi seperti gotong-royong terjadi antar semua usia, tidak dibedakan tua dan muda.

Mari kita kritis atas tahap perkembangan ini yang merupakan fitrah manusia. Jangan biarkan anak anak kita direkayasa sebuah sistem yang menternakkan generasi.

Mari kita bangun generasi baru, generasi peradaban yang tahapan tahapan perkembangannya sesuai dengan fitrah dan sunnatullahnya.

Tidak tumbuhnya fitrah keimanan, fitrah bakat, fitrah belajar secara utuh pada tahap yang benar akan menyimpangkan peran peradaban anak anak kita. Sesungguhnya Insan Kamil adalah resultansi fitrah2 itu yang tumbuh sempurna sesuai tahapan yang benar.

Salam Pendidikan Peradaban

#fitrahbasededucation
#pendidikanberbasisfitrah

Sumber : https://www.facebook.com/harry.hasan.santosa/posts/10205790147823030

About dimaspramudia

Read All Posts By dimaspramudia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.