Bismillah.. semoga postingan kali ini disertai rahmat dan berkah Allah SWT.
Reff Mubaligh: Harry Santosa.
Peran Peradaban (Misi Hidup) vs Penjajahan Peradaban
Selama lebih dari lima tahun ini saya mengkampanyekan perlunya dan pentingnya seseorang atau sesekeluarga memiliki peran peradaban atau misi hidup. Ini berawal dari konsep besar pendidikan peradaban yang saya yakini, bahwa tugas sebuah pendidikan dalam perspektif peradaban adalah mengantarkan generasi peradaban (jailul hadhoriyah) dari fitrahnya kepada peran peradaban (daurul hadhoriyah).
Secara umum alQuran menjelaskan bahwa peran peradaban personal itu harus membawa kabar gembira (bashiro – solution maker) dan peringatan (nadziro – problem solver) serta rahmatan lil alamin. Kemudian secara kolektif, peran peradaban personal ini akan menjadi peran peradaban komunal yaitu ummatan wasathon (integrator n collaborator community) dan khoru ummah (best model community)
Dan selama lima tahun ini, anehnya yang peduli tentang pentingnya peran peradaban atau misi hidup justru “ibu ibu”, atau “emak emak”, apakah karena makhluk ini memang ditakdirkan untuk merawat peradaban atau karena mereka benteng terakhir peradaban sehingga lebih banyak menggunakan intuisi, nurani dan wise nya.
Memang dalam banyak peperangan besar peradaban, wanita dianggap makhluk yang paling lemah dan teraniaya, tetapi justru sejarah mencatat bahwa merekalah para ibu yang paling bertahan kemudian memulai kebangkitan peradaban secara kolektif.
Itulah barangkali yang bisa menjelaskan mengapa para ibu ini lebih concern terhadap pentingnya peran peradaban (misi hidup) baik pada skala individual baik lelaki maupun perempuan, dan pada skala komunal seperti keluarga, masyarakat, komunitas maupun bangsa.
Walau lelaki dan perempuan harus memiliki peran peradaban atau misi hidup secepatnya pada usia 15 tahun dan selambatnya pada usia 40 tahun, namun secara peran keayahbundaan, sesungguhnya sang ayahlah sebenarnya yang harus menemukan peran peradaban keluarganya atau misi keluarganya, menunjukkan bagaimana misi itu bekerja kemudian memimpin misi keluarga dan menjadikannya legacy untuk keturunannya.
Namun, belakangan ini saya banyak mendapat laporan dari para ibu bahwa para lelaki atau suami hari ini tak punya atau tak tahu apa misi hidupnya, kemudian terbawa pada tataran keluarganya, mereka tak tahu misi keluarganya atau peran peradaban keluarganya. Sebagian para ayah, tak tahu bagaimana menemukan misi hidupnya, sebagian besar malah merasa tak penting!
Kolonialisasi
Penjajahan peradaban atau kita kenal kolonialisasi selama ratusan tahun sesungguhnya telah menghancurkan peran peran keluarga, menggerus akar dan kesejatian fitrah manusia secara individu maupun secara bangsa bangsa.
Di masa sebelum kolonialisasi, keluarga keluarga memiliki “klan” atau “family name” terkait dengan perannya dalam masyarakat tsb secara turun temurun. Di barat, nama family name, menggambarkan peran nenek moyangnya, misalnya “Thomas Baker”, “John Butcher”, “James Taylor”, dstnya. Begitupula di Jepang, family name menggambarkan wilayah alam yang dikelola leluhur keluarga secara turun temurun. Begitupula dijumpai di Papua, setiap klan mewakili peran untuk merawat kearifan lokal dsbnya.
Namun hari ini, kolonialisasi dan industrialisasi memutus itu semua. Padahal Islam datang untuk menyempurnakan akhlak, menyempurnakan kearifan kearifan turun temurun, memuliakan dan menguatkan pribadi dan suku bangsa untuk menghebatkan peran peradabannya masing masing yang berangkat dari fitrahnya masing masing. Yang diberantas Islam, bukan peran peradaban dan kearifan kearifan akhlaknya, tetapi tradisi tradisi buruk yang menyertainya sehingga menghambat kecemerlangan peran peradabannya itu.
Kemudian datanglah Kolonialisasi, Modernisasi, dstnya. Penjajahan menciptakan sistem persekolahan, yang mengambil anak anak Muslim dan anak bangsa lainnya dari rumah rumah mereka untuk diseragamkan dan dicetak sebagai kuli peradaban dengan satu tujuan yaitu untuk menjalankan mesin penjajahan.
Bagi sistem persekolahan ala kolonial seperti ini mata uang paling penting adalah kepintaran dan kepatuhan, bukan peran peradaban yang berangkat dari fitrah generasi peradaban. Dan sistem ini masih berlangsung sampai hari ini dan anehnya ditiru oleh banyak persekolahan Islam dengan hanya menempelkan label Islam semata namun orientasinya sama, orang baik, pintar dan patuh yang menjadi kuli dan budak peradaban.
Jelas saja, kuli peradaban tak memerlukan peran peradaban (misi hidup) karena mereka hanyalah budak modern yang jenjang perkembangan otaknya dan penghasilannya sudah ditakar jatahnya oleh sistem.
Kini, walau negeri negeri Muslim “nampak” sudah merdeka, sesungguhnya mindset dan mental hidup mereka masih kuli, yang masih menggunakan bahkan pasrah bongkokan pada sistem yang dibangun kolonialisme sampai hari ini.
Para orangtua menyekolahkan anak anaknya agar pintar dan sholeh, namun tak pernah diantarkan kepada peran peradaban terbaik atau misi hidup terbaik.
Misalnya ada orangtua yang menjadi banyak rujukan dalam mendidik anak, suatu ketika menulis status di medsos,
“Alhamdulillah anak saya yang hafizh alQuran, sekarang sudah tamat dari PTN, mohon doanya, agar segera diterima bekerja”
Nah, terbayang bukan, bagaimana buruknya orientasi dan mindset tentang pendidikan apabila demikian. Status orangtua di atas mungkin mewakili kebanyakan orangtua pada hari ini.
Sepintas tiada yang salah, namun bukankah ini mental kuli peradaban? Andai semua orangtua memiliki mindset “agar segera diterima bekerja” , bukankah kita sedang mengkonstruksi peradaban masa depan kita hanya sebagai kuli peradaban?
Sebenarnya tiada yang salah apabila “bekerja” dimanapun, tetapi “on mission”, misalnya, doa orangtua tadi lebih indah dan bermisi peradaban apabila, “mohon doanya, sekarang sedang bekerja di perusahaan internasional, untuk mendalami riset yang kelak digunakan untuk mengembangkan enegi terbarukan di Indonesia”.
Mindset para orangtua yang demikian, menyebabkan banyak anak anak generasi muda “have no mission” alias tak punya orientasi peran peradaban dalam hidupnya. Mungkin saja mereka bekerja dengan gaji besar lalu banyak infaq dan shodaqoh, bangun masjid dll. Tapi yang dimaksud bukan peran peradaban seperti itu. Shalih bukan status, tetapi amal shalih dalam menegakkan peradaban dengan peran peradaban atau misi hidup yang ajeg.
Pembahasan Misi Hidup atau Peran Peradaban
Memang hari ini sangat jarang kita menemukan pembahasan tentang apa dan bagaimana serta pentingnya misi hidup. Karena sudah lama kita terjajah dalam pemikiran maupun perbuatan untuk menghamba pada materi walau mengaku beriman pada yang ghaib. Kalaupun ada, lagi lagi terbatas pada karir dan bisnis, ya sama saja, orientasinya sempit.
Kita, umumnya, bersekolah yang tinggi agar bisa bekerja di posisi bergengsi, di tempat yang basah atau kita tak bersekolah agar bisa menjadi pengusaha dengan income tak terbatas dstnya, lalu bisa banyak bersedekah, rajin zakat, umroh dan haji, bangun masjid dstnya, kemudian sudah merasa mendapat hidayah dan merasa hidupnya untuk beribadah kepada Tuhannya.
Orientasi mereka bukan peran peradaban tetapi tetap kuli peradaban yang mengais upah untuk digunakan bersedekah dll. Begitulah penjajah peradaban, mereka tak memurtadkan kita dari agama kita, namun menyimpangkan kita dari peran peradaban atau misi hidup. Berapa banyak anak anak kita, cerdas pandai, hafal alQuran namun tak memiliki misi personal apalagi kelak ketika berumah tangga, tak punya misi keluarga.
Sungguh banyak dari generasi ini tak menemukan kaitan antara aqidahnya dengan peran peradabannya, keimanannya dengan misi hidupnya. Mereka lupa bahwa peradaban besar tak dibangun oleh banyaknya orang pintar, berijasah bertitel mentereng, tetapi sesungguhnya ditegakkan dan diukur dari banyaknya peran peran peradaban yang lahir dan melahirkan karya karya peradaban yang cemerlang, menebar rahmat bagi semesta lalu menjadi legacy yang dilanjutkan oleh anak dan keturunan.
Salam Pendidikan Peradaban
#fitrahbasedlife #fitrahbasededucation
Reff: