Bismillah.. semoga postingan kali ini disertai rahmat dan berkah Allah SWT.
Reff Mubaligh: Harry Santosa.
Mendidik Anak antara Konsep dan Praktek
Barangkali sering kita dengar ucapan, “…yang penting prakteknya…”, “jangan kebanyakan “ngonsep”…”. Atau ucapan, “…bagaimana bisa jalan jika konsep tidak jelas…”, “…yang penting filosofi dan prinsipnya” dstnya.
Jelas konsep dan praktek sama sama penting. Tanpa menyerap dan meresapi mendalam konsep, maka praktek akan banyak error nya dan ngawurnya juga tidak shabarannya, namun kebanyakan “ngonsep” tanpa praktek juga tidak akan menjadi bermanfaat dan menjadi pengalaman berharga untuk terus menerus diperbaiki.
Dalam mendidik, konsep dan praktek ibarat siklus. Di awal memang kita harus menyerap dan menghayati konsep dengan mendalam, kemudian segera berani mempraktekkannya dengan segala tantangannya dan problematikanya. Kemudian semua pengalaman yang diperoleh dalam praktek menjadikan kita semakin mengokohkan pemahaman konsep dan bahkan memiliki konteksnya atas keunikan kita sendiri, untuk kemudian dipraktekkan kembali. Begitu seterusnya.
Lalu bagaimana dalam mendidik anak? Tentu konsep dan praktek juga sama pentingnya. Bagi para Ibu tentu praktek jauh lebih penting karena dituntut eksekusi segera dalam keseharian. Bagi para Ayah, konsep jauh lebih penting, karena beliau harus memastikan fondasi prinsip dan filosofi pendidikan bagi keluarganya.
Nah, itulah mengapa pernikahan dan pendidikan anak itu membutuhkan kehadiran Ayah dan Ibu secara utuh dan seimbang. Ayah adalah sang konseptor, sedangkan bunda adalah sang eksekutor. Secara fitrah seksualitas, seorang ayah lebih banyak berfikir daripada bicara, dan seorang ibu lebih banyak bertindak dan bicara daripada berfikir.
Maka perlu ada pembagian peran dalam mendidik. Ayahlah yang merancang dan menyusun segala sesuatu yang bersifat konsep, sejak merumuskan Misi dan Visi keluarga sampai kepada prinsip dan filosofi pendidikan di keluarganya. Bukan itu saja, ayahpun harus mampu memimpin dan menunjukkan tahapan dan kerangka kerjanya (lead the way & show the way). Ayah cocok dengan peran ini karena beliau suka bekerja “single tasking”, banyak berfikir dan merenung, pembentuk struktur berfikir dan berinovasi di keluarganya.
Bundalah kemudian yang menurunkan menjadi program dan kegiatan harian lalu mengeksekusinya. Bukan itu saja, para bunda pun harus telaten dan jeli melakukan observasi (monitoring n controlling) selama pelaksanaan dan melakukan evaluasi hasil eksekusinya. Kemudian tentu saja melaporkan kepada suaminya. Bunda cocok dengan peran ini karena suka bekerja “multitasking”, banyak melakukan aktifasi (activator), melayani dan peduli.
Seorang Ayah karena “Single Tasking” akan stress luarbiasa jika terlibat dalam keruwetan sehari hari. Namun seorang Bunda, bisa mengurus beberapa orang anak sekaligus, bisa memasak sambil sesekali melirik jemuran di halaman, menyapu dan membersihkan meja makan, sambil menelpon atau “update status”.
Maka biarlah para Ayah tidak terlalu banyak direpotkan urusan eksekusi lapangan, namun jadikanlah Ayah konsultan pendidikan bagi para istrinya. Itulah pentingnya Ayah untuk tidak berkutat dalam masalah keseharian, agar sebagai konsultan pendidikan rumah bisa jernih memberi solusi karena bukan bagian dari masalah keseharian. Para bunda, sebagai petugas harian jelas membutuhkan konsultan 24 jam sebagai tempat curahan hati (curhat) nya.
Maka jangan suruh para bunda memahami konsep dan merancang misi keluarga, bisa sakit kepala dibuatnya, namun jadikanlah petugas harian atau penanggungjawab pendidikan harian yang membutuhkan banyak bicara dan banyak bekerja. Para ayah jelas membutuhkan petugas harian untuk mengeksekusi rancangan misi keluarganya dan prinsip prinsip pendidikan di keluarganya.
Namun demikian pembedaan peran ini bukan berarti masing masing tidak boleh melakukan peran yang lain, hanya saja ada yang akuntabel dan ada yang responsible. Para ayah boleh terlibat dalam eksekusi tetapi porsinya akuntabel bukan responsible, begitu pula para bunda boleh terlibat dalam merancang misi keluarga namun porsinya akuntabel bukan responsible.
Ada peran peran yang tak tergantikan, misalnya supply maskulinitas dominan untuk anak lelaki, ini harus dari ayah. Begitupula supply feminitas dominan untuk anak perempuan, ini harus dari bunda. Misalnya dalam eksekusi program pada usia 11-14 tahun dimana anak mulai diuji eksistensinya, maka peran ayah sebagai Sang Raja Tega, tak tergantikan oleh bunda. Begitupula peran bunda sebagai Sang Pembasuh Luka, juga tak tergantikan oleh Ayah.
Demikianlah Allah muliakan sebuah pernikahan karena ada pendidikan generasi peradaban di dalamnya untuk memperbaiki peradaban manusia, dengan pembagian peran ayah ibu secara indah serasi sesuai fitrah gendernya agar dapat mendidik secara seimbang dan utuh, saling bersinergi positif dan harmoni. Komunikasi yang terjalinpun bukan komunikasi basa basi namun komunikasi bermutu dan bermakna dalam menjalankan misi keluarga dan peran mendidik diri dan anak anaknya.
Pernikahan adalah peristiwa besar peradaban, maka hadirkan pendidikan peradaban dengan menumbuhkan fitrah peradaban di dalamnya.
Salam Pendidikan Peradaban
#fitrahbasededucation #fitrahbasedlife
Reff: