- Dakwah, FBE, IMTAQ

Renungan Pendidikan #22 – Mari segera rancang pendidikan anak anak kita yang membangkitkan fitrah2 baik mereka

Bismillah.. semoga postingan kali ini disertai rahmat dan berkah Allah SWT.
Reff Mubaligh: Harry Santosa.

Sadarkah kita, bahwa anak anak kita, generasi kita, digiring memasuki sistem pendidikan berorientasi persaingan atau kompetisi yang menyengsarakan dan membahyakan kebudayaan dan akhlak manusia?

Kompetisi terlihat sepintas sebagai sebuah hal yang biasa, layaknya perlombaan olahraga atau sebagai kemestian bisnis, dsbnya. Ketika diingatkan bahaya kompetisi maka selalu pertanyaannya adalah, “bukankah orang perlu berkompetisi agar menjadi unggul atau terlihat unggul?”.

Ingatlah bahwa menjadi unggul bukanlah secara tunggal mengungguli semua orang bak anak Tuhan ala Yahudi atau ras termulia ala nazisme, namun menjadi unggul adalah menjadi paling bermanfaat dan paling menebar rahmat atas semua manusia, ummat dan bangsa dengan fokus tumbuh atas keunikannya sendiri lalu bekerjasama dengan beragam keunggulan unik yang lainnya sebagai karunia Allah swt.

Siapapun tahu, bahwa sebuah sistem pendidikan adalah alat pembentuk karakter personal, lalu secara kolektif karakter2 personal ini akan mengkonstruksi budaya. Budaya yang dilahirkannya, bisa budaya yang baik maupun budaya yang buruk, yang disebut kebudayaan dan akhirnya melahirkan peradaban.

Tanpa sadar, selama beberapa generasi, sistem persekolahan telah menanamkan sebuah budaya yang penuh dengki, dendam, jumawa dan rivalitas. Doktrinnya adalah siapa yang paling hebat adalah yang paling mampu mengungguli siapapun, yang paling bisa berdiri tegak di atas siapapun.

Dan yang paling mengerikan adalah untuk mencapai itu semua, maka semua cara dihalalkan. Sudah mafhum, sejak PAUD, anak anak belum cukup umur dimanipulasi agar bisa calistung sbg syarat masuk SD. Sudah rahasia umum di kalangan pelajar smp, sma untuk bahu membahu membeli bocoran soal, sementara guru guru bergotong royong memberikan jawaban soal, para ortu bersikap seolah tidak tahu menahu dstnya. Sementara di kalangan mahasiswa untuk menjiplak skripsi dan tesis sudah dianggap kelaziman.

Tentu saja itu semua demi Tuhan baru bernama kompetisi dan keunggulan semu, layaknya Lata dan Uza.

Tuhan baru untuk memperebutkan status sosial semu dengan sedikit remah remah dunia. Sungguh kepalsuan demi kepalsuan yang melahirkan budaya kepalsuan, kebencian, rivalitas, kedengkian dsbnya yang mengorbakan semua kesejatian dan misi penciptaan manusia.

Mari kita ingat ingat, sejak bersekolah, umumnya kita terpola untuk tidak pernah benar benar ikhlash melihat anak lain dipanggil maju ke depan ketika upacara, untuk menerima penghargaan atau hadiah sebagai juara umum, juara satu, dua dan tiga.

Begitu juga sejak kita menikah dan memiliki anak, umumnya kita juga tidak bisa ridha ketika melihat anak orang lain yang juara melebihi anak kita. Kita selalu ingin melihat anak kita menyaingi teman2nya dalam segala hal. Kita lupa bersyukur dan beriman atas fitrah keunikan kebaikan setiap anak.

Selalu terbersit, bahwa saya atau anak saya juga bisa. Obsesi yang menuduh kecurangan pihak lain atau pembenaran atas “ketidakberhasilan” kita. Kita bertepuk tangan, tapi hati kita meradang, senyum kecut mengembang. Ketidakberhasilan dimaknakan sebagai kegagalan berkompetisi yang sangat memalukan untuk menjadi pemenang.

Lihatlah banyak orangtua dan guru, masyarakat, para pengambil keputusan dll selama beberapa generasi itu telah memuja dan menyembah keunggulan tunggal lewat kompetisi, menggantikan Tuhan. Padahal tiap manusia punya martabat atas tugas, peran atas keunikannya masing2 untuk saling mengenal dan bekerjasama.

Itu semua karena kompetisi sudah menjadi budaya, kompetisi dalam benak banyak orang adalah sebuah keniscayaan bahkan sebuah kewajiban layaknya fardu ‘ain.

Lalu semakin hari semakin banyak lahir sekolah sekolah yg diberi “branding” keunggulan, yang hanya diperuntukan untuk para juara. Sekolah bagai sebuah arena pacuan dimana anak anak digegas berkompetisi. Padahal semakin hari semakin banyak orang salah jurusan dalam belajar, salah karir dalam bekerja, salah bisnis ketika pensiun. Banyak orang unggul bergerak tanpa tujuan manfaat kecuali mengungguli orang lain semata.

Para pemenang di sekolah dan di masyarakat adalah mereka yang memperoleh score tertinggi dalam akademik, begitu membanggakan dan dipuji siapapun. Lalu para pecundang terlihat begitu menjijikan, memalukan dan bahkan layak dipermalukan, diolok olok seumur hidupnya dengan sebutan si bodoh, si nakal, si dungu dstnya.

Si bodoh atau si nakal yang tidak suka pelajaran di sekolah ini terus dikenang dalam pertemuan dan reuni sekolah sampai akhir hayatnya, “oh si bodoh itu ya…, oh si rangking terakhir, …oh dia yang berkali kali tidak naik kelas itu ya,… oh dia yang gagal di ujian,… dstnya. Biasanya mereka yang dicap demikian akan terpicu rasa dendam sosial dan pembuktian eksistensi yang menyimpang.

Status ranking sekolah ini kemudian berkembang menjadi status sosial. Segregasi sosial berupa bodoh dan pandai kemudian bergeser jadi miskin dan kaya, pecundang dan pemenang, dengan menggunakan cara apapun. Konsep diri yang rusak, membawa penyakit sosial dan terbawa sampai kubur

Jelas siapapun menolak kekejaman sosial macam itu bagi yang dianggap pecundang, maka lahir kesimpulan atau antitesis dari kekejaman sosial ini berupa filosofi hidup, “jangan pernah dikalahkan oleh siapapun, kekalahan adalah kehinaan tak terampunkan, maka selalulah di atas, apapun caranya, at all cost, at all risk”

Sepanjang sejarah kapitalisme ditegakkan, kompetisi adalah jantungnya. Kompetisi sesungguhnya hanya ilusi kemajuan, pacuan yang tidak menuju kemana mana kecuali ekses kerusakan kemanusiaan dan alam. Kompetisi mendorong individu, lembaga atau perusahaan selalu mengintip permainan lawan, meniru niru, membajak, mencurangi dstnya.

Tidak ada kreatifitas positif dan kemaslahatan ummat dihasilkan lewat kompetisi, kecuali obsesi mengalahkan siapapun. Setiap tindakan dikendalikan oleh permainan lawan dan meniru niru pesaing.

Di ranah bisnis, kompetisi akan terus terus memangkas biaya produksi, mengeksploitasi sumberdaya, mencari pengganti bahan baku semurah mungkin walau berbahaya, menekan biaya dan gaji pekerja, menghadirkan produk dgn harga serendah mungkin dengan kualitas pas pasan. Jika terus dikakukan maka sampai sebuah titik, akan membunuh semuanya.

Kompetisi tidak sesederhana yang dibayangkan. Perhatikanlah, bila ini sudah menjadi budaya yang dilakukan secara masif, sadar maupun tidak maka akhirnya akan menghancurkan sumberdaya manusia dan sumberdaya alam.

Manusia dan alam “boleh dirusak” atas nama kompetisi. Banyak orang baik “terbunuh” atas nama kompetisi. Kompetisi yang dicetuskan Darwinisme Sosial ini telah merusak akidah dan keimanan sampai kepada peradaban ummat manusia.

Di ranah sosial, kompetisi masuk ke dalam institusi lembaga pemerintahan, ke persekolahan bahkan ke lembaga agama, lembaga zakat, LSM dsbnya.

Mereka berlomba bukan lagi demi kebaikan bersama dalam tugasnya masing masing sehingga menebar rahmat, tetapi berlomba untuk bertarung demi kebaikan diri sendiri dengan mengkhianati tugasnya masing masing sehingga menebar laknat dan maksiat.

Mari kita segera menyadari dan bertaubat dari sistem pendidikan berbasis persaingan, menuju pendidikan berbasis potensi keunikan dan akhlak.

Mari segera rancang pendidikan anak anak kita yang membangkitkan fitrah2 baik mereka, yang mengkonstruksikan budaya kerjasama saling melengkapi dan menghargai keunggulan unik tiap manusia baik personal maupun komunal.

Agar bangsa dan peradaban tidak ditegakkan di atas puing2 kehancuran yang menghinakan martabat manusia, organisasi atau bangsa lain, tetapi ditegakkan atas manfaat bersama dan rahmat semesta alam.

Salam Pendidikan Peradaban

#fitrahbasededucation
#pendidikanberbasisfitrah

Sumber: https://www.facebook.com/harry.hasan.santosa/posts/10205846381908847

About dimaspramudia

Read All Posts By dimaspramudia

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.